Pernikahan & Benih-benih Kemuliaan
Kebanyakan sejarawan percaya bahwa yang menyampaikan lamaran Khadijah kepada Nabi ialah Nafsiah binti Aliyah sebagai berikut:
“Wahai Muhammad! Katakan terus terang, apa sesungguhnya yang menjadi penghalang bagimu untuk memasuki kehidupan rumah tangga? Kukira usiamu sudah cukup dewasa! Apakah anda akan menyambut dengan senang hati jika saya mengundang Anda kepada kecantikan, kekayaan, keanggunan, dan kehormatan ?”
Nabi menjawab, “Apa maksud Anda?”
Ia lalu menyebut Khodijah. Nabi lalu berkata, “Apakah Khodijah siap untuk itu, padahal dunia saya dan dunianya jauh berbeda?”
Nafsiah berujar, “Saya mendapat kepercayaan dari dia, dan akan membuat dia setuju. Anda perlu menetapkan tanggal perkawinan agar walinya (Amar bin Asad) dapat mendampingi Anda beserta handai tolan Anda, dan upacara perkawinan dan perayaan dapat diselenggarakan”.
Kemudian Muhammad membicarakan hal ini kepada pamannya yang mulia, Abu Tholib. Pesta yang agung pun diselenggarakan. Sang paman yang mulia ini menyampaikan pidato, mengaitkannya dengan puji syukur kepada Tuhan. Waraqah, paman Khodijah, tampil dan mengatakan sambutannya. Upacara pun dilaksanakan. Mahar ditetapkan empat puluh dinar-ada yang mengatakan dua puluh ekor unta.
Nabi Muhammad sekarang mulai dewasa, ia mempunyai seorang istri yang begitu lengkap kemuliaannya. Dari perkawinan ini Khodijah melahirkan enam orang anak, dua putra, Qasim, dan Abdulah, yang dipanggil At-Thayyib, dan At-Thahir. Tiga orang putrinya masing-masing Ruqayyah, Zainab, Ummu Kaltsum, dan Fatimah. Kedua anak laki-lakinya meninggal sebelum Muhammad diutus menjadi Rosul. Nabi Muhammad SAW hanya beristri Khodijah sampai meninggalnya Khodijah.
Ketika umur Nabi mulai menginjak 35 tahun, banjir dahsyat mengalir dari gunung ke Kabah. Akibatnya, tak satu pun rumah di Makah selamat dari kerusakan. Mekkah kebanjiran. Dinding Kabah mengalami kerusakan. Orang Quraisy memutuskan untuk membangun kembali Kabah tapi takut membongkarnya.
Walid bin Mughirah, orang pertama yang mengambil linggis, meruntuhkan dua pilar tempat suci tersebut. Ia merasa takut dan gugup. Orang Mekah menanti jatuhnya sesuatu, tapi ketika ternyata Walid tidak menjadi sasaran kemarahan berhala, mereka pun yakin bahwa tindakannya telah mendapatkan persetujuan Dewa.
Mereka semua lalu ikut bergabung meruntuhkan bangunan itu. Pada saat pembangunan kembali Kabah, diberitahukan pada semua pihak sebagai berikut, “Dalam pembangunan kembali Kabah, yang dinafkahkan hanyalah kekayaan yang diperoleh secara halal. Uang yang diperoleh lewat cara-cara haram atau melalui suap dan pemerasan, tak boleh dibelanjakan untuk tujuan ini.”
Terlihat bahwa ini adalah ajaran para Nabi, dan mereka mengetahui tentang kekayaan yang diperoleh secara tidak halal, tetapi kenapa mereka masih melakukan hal demikian? Inipun terjadi di zaman ini, di Indonesia, rakyat ataupun pemerintahnya mengetahui tentang halal dan haramnya suatu harta kekayaan atau pun perbuatan yang salah dan benar, tapi mereka masih saja melakukan perbuatan itu walaupun tahu itu adalah salah.
Nabi Muhammad SAW kemudian ditunjuk sebagai pengawas pembangunan kembali Kabah. Dari pengalamannya sebagai proyek manajer pembangunan Kabah itu iapun banyak belajar tentang tatacara membangun dari ahli bangunan Yunani yang aslinya berasal dari Mesir. Ketika renovasi dinding Kabah telah dibangun dalam batas ketinggian tertentu, tiba saatnya untuk pemasangan Hajar Aswad pada tempatnya. Namun, masalah mulai muncul karena perselisihan di kalangan pemimpin suku. Masing-masing suku merasa bahwa tidak ada suku yang lain yang pantas melakukan perbuatan yang mulia ini kecuali sukunya sendiri. Karena hal ini, maka pekerjaan konstruksi tertunda lima hari. Ketika masalah mencapai tahap kritis, akhirnya seorang tua yang disegani di antara Quraisy, Abu Umayyah bin Mughirah Makhzumi, mengumpulkan para pemimpin Quraisy seraya berkata,
“Terimalah sebagai wasit orang pertama yang masuk melalui Pintu Shafa.(buku lain mencatat Bab as-salam).”
Semua menyetujui gagasan ini. Tiba-tiba Muhammad muncul dari pintu. Serempak mereka berseru, “Itu Muhammad, al-Amin. Kita setuju ia menjadi hakim sengketa ini!”
Untuk menyelesaikan pertikaian itu, Nabi meminta mereka menyediakan selembar kain. Beliau meletakkan Hajar Aswad di atas kain itu dengan tangannya sendiri, kemudian meminta tiap orang dari empat sesepuh Mekah memegang setiap sudut kain itu. Dengan cara itu maka batu Hajar Aswad pun diangkat bersamaan diatas selembar kain segi empat. Gotong royong ini menjadi hikmah tersendiri bagi Muhammad yang kelak mempersatukan suku-suku Arab. Ketika Hajar Aswad sudah diangkat ke dekat pilar, Nabi meletakkannya pada tempatnya dengan tangannya sendiri. Dengan cara ini, beliau berhasil mengakhiri pertikaian Quraisy yang hampir pecah menjadi peristiwa berdarah hanya gara-gara egoisme kesukuan semata.
Sejak kelahirannya, Allah SWT telah menentukan tentang semua ini sebagai suatu pelajaran agung bagi manusia yang dipilihNya menjadi Nabi dan Rosul Terakhir. Tanda-tanda Ahmad yang kelak menjadi Muhammad menjadi seorang Nabi besar telah banyak tampak pada diri Muhammad, dari batinnya yang mulia sampai pada bentuk perbuatan lahirnya yang indah. Kesabaran yang diabadikan di dalam Kitab suci menjadi bukti yang tak terbantahkan (simak QS 103), bahwa ia adalah manusia sempurna (al-Insan al-Kamil), dalam wujud lahiriah (penampakan), maupun batinnya. Tidak ada cela apalagi kesalahan besar selama hidupnya. Allah SWT benar-benar telah menciptakan sejak awal bahwa kelak Muhammad akan menjadi makhluk ciptaan-Nya yang penuh kemuliaan.
Kejujuran dan kebersihan hati Nabi Muhammad SAW menyebabkan dirinya disebut Al-Amin oleh masyarakat Mekah. Ia menjadi sosok panutan masyarakat, sebagai manusia mulia, sebagai manifestasi wujud kejujuran mutlak. Sebelum diutus menjadi Rosullullah, Muhammad selalu mengamati tanda-tanda kekuasaan Ilahi, kekuasaan Rabbul ‘Aalamin, Tuhan yang menciptakan, memelihara, dan mendidik semua makhluk-Nya, baik di alam, di lingkungan sekitarnya, diantara manusia, didalam keluarganya, didalam dirinya sendiri, dan mengkajinya secara mendalam. Terutama mengamati keindahan, kekuasaan, dan ciptaan Allah dalam segala wujud. Beliau selalu melakukan telaah mendalam terhadap langit, bumi dan semua isinya. Beliau selalu mengamati masyarakatnya yang rusak dan hancur, baik rusak perbuatan lahirnya maupun rusak hatinya karena suka berbohong, iri, dengki, memfitnah dan ketercelaan akhlak lainnya. Beliau memang sudah sejak awal mempunyai tugas untuk menghancurkan segala bentuk pemberhalaan. Apalah kiranya yang membuat masyarakatnya seperti ini, ia mengembalikan semua ini kepada Tuhan, yang menurutnya tak mungkin sama dengan manusia (Laisya Kamitslihi Syaiun).
Untuk merenungkan semua itu, Muhammad mempunyai tempat istimewa sendiri yaitu di Gunung Hira. Gunung itu puncaknya dapat dicapai kurang lebih setengah jam. Di gua gunung Hira atau sering disebut Gua Hira ini adalah saksi atas peristiwa menyangkut Nabi Muhammad SAW sejak awal masa dewasa Nabi. Gua Hira menjadi saksi bisu tentang wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yaitu surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5. Gua Hira seolah-olah ingin berkata,
“Disinilah dulu anak Hasyim (Nabi Muhammad SAW sering disebut sebagai anak Bani Hasyim) itu tinggal, yang selalu kalian sebut-sebut, disinilah ia diangkat menjadi Rosul, disinilah Al-Furqon (nama lain Al Qur’an) pertama kali dibacakan, wahai manusia, bukankah aku telah mengatakannya, kalianlah (manusia) yang tak mau menengarkannya, kalian menutup telinga kalian rapat-rapat, dan menertawakanku, sedangkan sebagian dari kalian hanya menjadikan aku sebagai museum sejarah dan saksi bisu semata.”
Sumber : http://muhammad.atmonadi.com
Sumber : http://muhammad.atmonadi.com
0 komentar:
Posting Komentar